Selasa, 01 Mei 2012

kuncup bunga terakhir

KUNCUP BUNGA TERAKHIR 
 
Hujan masih menitik disaat kokok ayam jantan memecah atmosfir sunyi dini hari. Jam menunjukan pukul 03.30. Khasna masih terpekur diatas potongan batang bambu yang terjejer rapi diatas kolam. Waktu seakan tak menghiraukannya. Menenggelamkannya dalam derai air mata sejak dentang tengah malam. Khasna mendongak perlahan. Leher dan pundaknya terasa sedikit pegal. Berdiam dengan posisi yang sama dalam waktu yang cukup lama membuat badannya terasa kaku. Apalagi dengan diselimuti kabut dini hari yang terasa menusuk kulit. Khasna melihat ke langit. Dari balik mata sembapnya, ia melihat kuncup-kuncup fajar mulai merekah. Langit tak lagi segelap malam.
“Astaghfirullahal’adzim.” Khasna bergumam pelan. Dengan kedua telapak tangannya, ia mengusap air mata yang masih saja terus meleleh. Setelah dirasa jiwa dan raganya cukup kuat, Khasna bangkit dari duduknya. Disisingkannya lengan panjang baju tidurnya. Digulungnya dengan teratur kain celana yang menutupi kedua mata kakinya.

Perlahan air dingin membasahinya. Mensucikan setiap jengkal kulit tubuh yang ia basuh. Memberikan kesegaran serta ketenangan pada batinnya yang terguncang. Ia akan bercerita. Menumpahkan segala rasa yang membelenggu pada Tuhannya. Mengadukan tanggungan rasa yang tak mampu ia pikul. Dalam balutan mukena putih bersih, Khasna dengan khusyuk terus bersujud. Tak mempedulikan sajadahnya yang basah oleh derai air mata. Tak mempedulikan waktu yang terus merayap.

Semua ini bermula ketika ia baru menjadi relawan tenaga pengajar di sebuah daerah terpencil di Papua. Sejak ia menginjakkan kaki di usia remaja hingga ia berusia 20 tahun saat ini, semangatnya untuk menjadi relawan di daerah terpencil di Indonesia tak pernah surut. Dan akhirnya mimpi itu terwujud. Di daerah dimana ia ditempatkan saat ini, Khasna dibantu oleh Mas Kholif dalam tugasnya menjadi tenaga pengajar. Kebetulan mereka mengajar disekolah yang sama. Mas Kholif telah menjadi relawan pengajar sejak 3 tahun lalu. Sehingga tidak heran jika ia lebih akrab dengan masyarakat lokal. Selisih umur mereka yang hanya terpaut 4 tahun, membuat Khasna mudah untuk menjalin komunikasi dengan Mas Kholif. Sebelumnya Mas Kholif ditempatkan berdua dengan Mas Hanif. Namun tepat 1 bulan sebelum Khasna datang, Mas Hanif kembali kedaerah asalnya di Purwokerto untuk menikah.

Pernah suatu hari ketika Khasna mengabsen anak didiknya, dua orang tidak hadir. Ketika ditanyakan pada teman yang lain, “Mereka mencari ulat sagu.” Jawabnya. Khasna heran, “Untuk apa mereka mencari ulat sagu?”
“Sebagai lauk makan siang. Dimusim seperti ini, ulat sagu sedang banyak.” Khasna mual. Perutnya serasa diaduk. Membayangkan hewan gemuk sebesar ibu jarinya menggeliat diatas penggorengan atau diatas api ketika dibakar.
“Hooekk!!” Keringat tiba-tiba membasahi dahinya. Wajah Khasna pucat. Dengan menahan isi perut yang hendak keluar, Khasna berlari keluar ruangan. Pagi tadi dia belum sarapan pagi, sehingga yang keluar hanya air.
“Anda tidak apa-apa, Bu Khasna?” Tanpa disadarinya Mas Kholif suda ada dibelakangnya. Memandang cemas Khasna yang terus memegangi perut. “Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit lelah.” Akunya sedikit berbohong. Ia tak mungkin menceritakan bahwa ia mual setengah mati membayangkan ulat sagu dijadika lauk makan siang. Mungkin itu hal yang wajar bagi penduduk sekitar, namun tidak baginya.
“Hhooeek!!” Khasna mual lagi. Ia harus mengalihkan pikirannya dari ulat sagu itu. Jika tidak dia akan terus muntah-muntah.
“Sebaiknya anda istirahat saja. Biar saya yang menggantikan anda mengajar.” Saran Mas Kholif. Ia sungguh tak tega melihat Khasna yang sudah cukup kurus terlihat makin kurus karena sedang tidak sehat. “Tapi bagaimana dengan kelas anda?” tanya Khasna tak enak.
“Kelas saya sudah selesai. Sebaiknya anda bergegas pulang. Muka anda makin pucat.” Khasna tak membantah. Ia memang harus segera tidur dan bangun dengan harapan telah melupakan mengenai peristiwa ulat sagu itu. “Terima kasih.” Ucap Khsana tulus. Mas Kholif memang baik. Dia memang selalu menolong Khasna setiap dirinya kesusahan.

Siang sangat terik. Hari ini sekolah libur. Salah seorang penduduk berniat untuk membangun rumah. Sehingga seluruh kaum pria, tak terkecuali anak-anak atau remaja, bergotong-royong membantu. Para kaum wanita bekerja didapur. Membuat makanan untuk disantap setelah lelah bekerja.
“Ah, iya. Hari ini aku harus mengambil laporan pengajaran ketika aku ijin pulang kemarin. Semoga Mas Kholif ada dirumah.” Bergegas Khasna mengenakan pakaian panjangnya. Cukup celana panjang longgar dan baju lengan panjang yang menutupi tubuhnya hingga lutut. Ditempatnya sekarang Khsana juga harus menyesuaikan caranya berpakaian. Apalagi melihat keadaan alam tempat ia beraktifitas sekarang dengan ketika ia masih tinggal di Bandung. Sangat berbeda. Celana cukup praktis dan membuatnya leluasa bergerak dibandingkan dengan gamis atau rok panjang yang ia suka kenakan ketika berada di Bandung.

Kebetulan sekali Mas Kholif sedang berada dihalaman rumah ketika Khasna sampai. Hanya satu panggilan, Mas Kholif sudah dapat menyadari kedatangan Khasna.
“Tumbenan main ke rumahku, Dik.” Komentar Mas Kholif. Khasna terkekeh. Oh, iya. Walau disekolah Mas Kholif memanggil Khasna dengan sebutan ‘Bu’, tapi jika diluar lingkungan sekolah Khasna dipanggil dengan sebutan ‘Dik’.
“Ganggu nggak, Mas? Aku cuma mau ngambil laporan pengajaran waktu aku ijin. Ehm, makasih banget lho. Lagi-lagi aku ditolong sama Mas Khollif.” Ujar Khasna rikuh. Yang diberi ucapan terima kasih justru hanya tersenyum. Dimata Khollif pribadi, sosok Khasna ketika mengajar dikelas dengan Khasna ketika diluar lingkungan sekolah, keduanya sangat berbeda. Apalagi jika sedang berbincang dengannya seperti ini, Khasna semakin terlihat seperti gadis remaja. Kedewasaan yang umunya muncul di umur 20 tahun sama sekali tak nampak.
“Astaghfirullah.” Gumamnya. Tiba-tiba ia merasa terkejut dengan pemikirannya mengenai Khasna. Ya Allah, jangan sampai pikiran ini meracuni hatiku, batin Kholif.
“Mas nggumam apa? Ngomong-ngomong laporannya mana?” tanya Khasna, heran dengan sikap Mas Kholif yang dari tadi terdiam.
“Sebentar ya. Tak ambil dulu didalam.” Kholif meninggalkan Khasna yang kemudian asyik berayun di ayunan kayu yang ia buat sendiri.

Hari-hari berjalan dengan lancar sejauh ini. Ia juga merasa semakin lama Mas Kholif semakin terasa dekat. Seperti mempunyai pelindung ditempat yang belum lama ia kenal. Sampai kejadian itu tidak terduga. Datang dengan cepat dan membawa perubahan luar biasa dalam hubungan pertemanan antara kedua insan itu. Sebelumnya khasna tak menemukan tanda-tanda yang berarti pada diri Mas Kholif. Memang sikap Mas Kholif padanya menjadi lebih lembut. Bahkan ia tidak mau bercanda sedikit berlebihan dengan Khasna seperti sebelumnya. Tapi perubahan sikap Mas Kholif tersebut tak membuat Khasna berpikir bahwa Mas Kholif mencintai dirinya. Dan kemudian, lamaran secara tidak langsung itu terucap. Terangkai dengan kata yang sederhana, namun sama sekali tak ada keraguan. Mas Kholif berkata bahwa ia mencintai Khasna bukan karena keadaannya saat ini yang mendesaknnya. Ia tulus mencintai Khasna. Dirinya sendiripun tidak pernah menduga bahwa ia akan jatuh cinta pada Khasna.

Khasna mengakhiri sholat tahajudnya. Hatinya telah lebih tenang. Insya Allah, surat kepada keluarganya yang yang ia kirim seminggu yang lalu mengenai lamaran Mas Kholif pun akan sampai hari ini. Dan setelah keluarga, terutama kedua orang tuanya, memberi jawaban, maka Khasna akan memberi jawaban pada Mas Kholif.
“Pagi, Bu Khasna.” Dari belakang punggungnya Mas Kholif menyapanya yang baru saja sampai. Sikap Mas Kholif tidak berubah setelah kejadian lamaran itu. Dia tidak menjauhi Khasna dan juga tidak berusaha mencari muka. Natural namun tetap bersikap lembut pada Khasna. Terkadang malah Khasna yang dibuat salah tingkah.
“Ah,eh…pagi. Pagi benar, Mas? Eh, maksud saya Pak Kholif.” Khasna tersenyum kecut karena salah tingkahnya barusan. Ugh, malu! Pikir Khasna.

Sorenya surat itu tergeletak didepan pintu rumah Khasna. Dengan tidak sabar, langsung di baca oleh Khasna.
“Subhanallah, terima kasih ya Allah. Ayah dan ibu menerima Mas Kholif.”

Dua minggu kemudian pernikahan sederhana itu berlangsung hikmat. Mas Kholif dan Khasna memutuskan untuk menikah di kota terdekat yang banyak terdapat muslim untuk dijadikan saksi janji suci mereka berdua.
Karena masa tugas yang belum tuntas, untuk sementara mereka akan tetap tinggal di Papua. Namun mereka akui, dalam hati kedua insan yang sedang berbahagia itu, rasa bahagia dan cemas tetap melanda ketika mereka akan bertemu kedua orang tua masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar